Pandu Sang Bintang Pratama
Di tanah subur Lampung yang ramah,
Tumbuh singkong dari peluh yang pasrah,
Petani menanam dengan doa dan susah,
Namun panen direnggut kuasa yang megah.
Tangan-tangan halus berjas licin,
Menyusun harga di ruang berpendingin,
Tak peduli hujan yang membasahi dahi,
Atau kulit yang mengelupas disapa pagi.
Singkong jadi emas di meja istana,
Tapi di gubuk, anak menangis karena lapar tak reda,
Oligarki menabur janji dan angka,
Tapi menggenggam laba dengan kuku serigala.
Tanah warisan kini jadi milik korporasi,
Petani hanya buruh di ladang sendiri,
Ditindas lewat hukum dan birokrasi,
Suaranya diredam, dianggap tak berarti.
Wahai negeri yang mengaku adil,
Mengapa petani harus selalu menggigil?
Bukan karena hujan atau angin timur,
Tapi oleh sistem yang kian kabur.
Bangkitlah suara dari ladang dan sawah,
Suara yang menuntut hak yang sah,
Karena bumi dan hasilnya bukan untuk segelintir,
Tapi untuk semua yang bersimbah getir.
Kalianda, 05-05-2025. (Agam Red)